Jumat, 04 Desember 2009

Sistem Ketatanegaraan Islam dari masa Nabi saw sampai Turki Ustmani

oleh:
padil hidayat

A. Masa Nabi saw
Khudabak menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya membawa agama baru, tetapi juga membentuk suatu pemerintahan yang bercorak teokratis yang puncaknya berdiri seorang wakil Tuhan di muka bumi.
Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Suatu perkara yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak ditangan rakyat maupun kepala Negara, melainkan di tangan syara. Hanya saja pesan-pesan syara yang sifatnya illahi itu tidak dimonopoli oleh kepala Negara (khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara (baik dari segi hukum maupun kewajiban) adalah sama. Oleh karena itu meskipun kekuasaan dan wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak menyebabkan kelemahan Negara Islam, malah justru memperkuatnya.
Kekuasaan khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat Islam. Control pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah serta tolak ukur yang jelas (yakni nash-nash syara) telah menjadikan daulah ini kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad.
Para pemikir muslim sepakat bahwa Madinah adalah Negara Islam yang pertama, dan apa yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat Islam dan menerapkan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai kepala Negara Islam Madinah.
Nabi Muhammad merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.
Nabi Muhammad saw mendirikan Negara Madinah ini berdasarkan kontrak sosial antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi, Kristen dan kaum Arab pagan yang berdiam di Madinah. Piagam Madinah berisi prinsip-prinsip interaksi yang baik antar pemeluk agama : saling membantu menghadapi musuh yang menyerang Negara Madinah, menegakan keadilan dan membela orang yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.

B. Masa Khalafa Al-Rasyidin
1. Masa Abu Bakar (11-13 H)
Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah Islam. Ia disebut lembaga pengganti kenabian dalam memelihara urusan agama dan mengatur urusan dunia untuk meneruskan pemerintahan Negara Madinah yang terbentuk di masa Nabi. Pengangkatannya untuk memangku jabatan tersebut, merupakan hasil kesepakatan kaum Ansar dan kaum Muhajirin dalam musyawarah mereka di Tsaqifah Bani Saidah. Musyawarah itu sendiri diprakarsai oleh kaum Ansar secara spontan sehari setelah wafat Rasulullah saw. Sikap spontanitas mereka ini menunjukan mereka lebih mengutamakan kesadaran berpolitik dari pada kaum Muhajirin untuk memikirkan siapa pengganti Rasul dalam memimpin umat Islam. Bahkan Umar bin Khatab ketika mendengar wafatnya Rasul, tidak yakin hal itu akan terjadi.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa, mereka mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah. Kaum Muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah. Sementara itu Ahlul bait menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.
Pemilihan Abu Bakar tersebut tidak didasarkan pada sistem keturunan, atau karena keseniorannya, dan atau karena pengaruhnya. Tapi karena beliau memiliki kapasitas pemahaman agama yang tinggi, berakhlaq mulia, dermawan dan paling dahulu masuk Islam serta sangat dipercaya oleh Nabi. Seandainya pemilihan didasarkan pada keturunan, kesenioran dan pengaruh, tentulah mereka akan memilih Saad bin Ubadah pemimpin kaum Kharaz atau Abu Sufyan pemimpin Bani Umayah dan atau Al-Abbas, pemuka golongan Hasyim. Mereka ini lebih senior dan berpengaruh daripada Abu Bakar. Dan terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah pertama, menjadi dasar terbentuknya pemerintahan system khilafah dalam Islam, yang terkenal dengan khilaf Khulafa Al-Rasyidin. System ini berlangsung hingga abad XX dengan corak yang berlainan. Pemerintahan model khilafa di dunia Islam berakhir di Turki sejak Mustafa Kemal menghapusnya pada tanggal 3 Maret 1924.
Setelah dikukuhkan oleh umat menjadi khalifah, Abu Bakar menyampaikan pidato penerimaan jabatannya itu di Masjid Nabawi. Pidato ini menggambarkan garis politik dan kebijaksanaan yang dilaksanakan abu Bakar dalam pemerintahannya. Di dalamnya ia menggariskan beberapa hal penting : “Menjalin kebebasan berpendapat bagi rakyat untuk mengkritiknya bila ia tidak benar dalam memerintahnya, Menuntut ketaatan dari rakyat selama ini taat kepada Allah dan Rasulnya, Mewujudkan keadilan dengan memberikan hak-hak orang lemah dan mengambil hak-hak orang kuat untuk melaksanakan kewajiban mereka bagi kepentingan masyarakat dan Negara; dan mendorong umat agar gemar berjihad dan mendirikan salat sebagai salah satu inti dari taqwa”.
Di dalamnya juga tergambar bahwa Abu Bakar bertekad akan melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang telah diletakkan oleh pendahulunya Nabi Muhammad SAW. Yaitu melaksanakan syariat Islam, melaksanakan musyawarah, menjamin hak-hak secara adil, memelihara ketaatan rakyat kepada pemerintahan secara limitatif selama pemerintahan taat kepada Allah dan Rasul, melaksanakan amar ma`ruf dan nahi munkar serta mendorong terwujudnya kehidupan taqwa.
Kekuasaan yang dijalankan pada masa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad saw, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.
Untuk masalah eksekutif, ia mendelegasikan kepada para sahabat baik untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di Madinah maupun pemerintahan di daerah. Sedangkan untuk tugas yudikatif ia mengangkat Umar bin Khatab sebagai hakim Agung. Adapun urusan pemerintahan di luar kota Madinah, ia membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi dan setiap propinsi ia menugaskan seorang amir atau wali(semacam gubernur).
Pada tahun ke tiga pemerintahannya, Abu Bakar mendadak jatuh sakit. Selama lima belas hari ia tidak bisa memimpin shalat berjamaah di masjid dan sebagai gantinya ia meminta Umar menjadi Imam shalat. Karena merasa ajalnya sudah dekat, kemudian ia memberi wasiat kepada Umar bin Khatab sebagai khalifah. Dalam ketetapan ini ia tetap melaksanakan musyawarah dengan para sahabat yang lainnya dan pada prinsipnya merekapun setuju akan wasiat dari Abu Bakar.
Setelah musyawarah disepakati, kemudian Abu Bakar menemui umat Islam yang berkumpul di masjid dan menyampaikan keputusannya memilih Umar dan kaum musliminpun ikut menyepakatinya. Selanjutnya abu Bakar memanggil Umar dan membekalinya dengan beberapa pesan dan Umar pun di bai`at secara umum oleh umat Islam di Masjid Nabawi.

2. Masa Umar bin Khatab (13-23 H)
Sebagaimana Abu Bakar, Umar bin Khatab begitu dibaiat atau dilantik menjadi khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabi di hadapan kaum muslimin. Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab itu. Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khlaifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakan terhadap pelaku tindak kejahatan.
Mengenai garis politik dan kebijakan Umar dalam memerintah, pandangannya tentang seluk-beluk Negara, orang yamg berhak menjadi pemimpin, tanggung jawab kepala Negara dan pelayanan kepada rakyat, hakikat tugas para pejabat Negara dan persamaan di depan hukum, tergambar pula dalam ucapan-ucapan dan pidato-pidatonya kepada rakyat dan nasihat-nasihatnya kepada para pejabat, yang dapat disimpulkan sebagai berikut : ia telah menampikan sosok dirinya sebagai pemimpin yang sangat menguasai urusan kenegaraan dan sebagai seorang negarawan yang patut diteladani. Ia telah menggariskan : 1) persyaratan sebagai calon kepala Negara; 2) menetapkan dasar-dasar pengelolaan Negara; 3) mendorong para pejabat Negara agar benar-benar memperhatikan kemaslahatan rakyat dan melindungi hak-haknya karena mereka adalah pengabdi rakyat dan mereka itu adalah bagian dari rakyat; 4) jabatan yang dipegang seseorang adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan dan rakyat; 5) mendidik rakyat supaya berani memberi nasihat dan kritik kepada pemerintah dan sebaliknya; 6) khalifah Umar telah meletakan dasar-dasar pengadilan dalam Islam.
Pada masa ini institusi musyawarah telah diwujudkan menjadi majelis atau lembaga tertinggi sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif dalam pemerintahan. Setiap keputusan dan peraturan yang dibuat diproses melalui musyawarah. Pada masa ini dibentuk dua badan penasehat atau syura. Badan penasehat yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila Negara menghadapi bahaya. Dan yang kedua adalah siding khusus yang membicarakan masalah rutin dan penting, bahkan masalah pengangkatan dan pencatatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini.
Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khatab dalam kedudukannya sebagai Khalifah atau kepala Negara. Untuk memperlancar administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan : 1) Diwan al-Kharaj(jawatan pajak) yang mengelola administrasi pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukan. 2) Diwal al-Ahdats(jawatan kepolisian) yang bertugas memelihara ketertiban dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang kemudian diadili oleh hakim. 3) Nazarat al-Nafi`at(jawatan pekerjaan umum) yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan saluran-saluran irigasi, jalan-jalan, jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintahan dsb. 4) Diwan al-Jund(jawatan militer) yang berkewjiban menginventarisir dan mengelola administrasi ketentaraan. 5) Bait al-Ma(baitul mal) yaitu lembaga pembendaharaan Negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan. Lembaga ini selain didirikan di Madinah juga didirikan di daerah-daerah.
Pranata sosial politik lain Negara Madinah yang dibangun oleh Khalifah Umar adalah pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah dengan menerapkan sistem desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang dan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang luas itu ia bagi ke dalam delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir, Palestina. Untuk setiap propinsi Umar mengangkat seorang gubernur yang disebut walli atau amir yang berkedudukan sebagai pembantu atau wakil khalifah di daerah. Tugas-tugas seorang gubernur disamping sebagai kepala pemerintahan daerah, juga sebagai pemimpin agama, memelihara keamanan dan ketertiban di daerah, memimpin ekspedisi militer dan mengawasi pelaksanaan pungutan pajak.
Di bidang pranata sosial ekonomi, khalifah Umar sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan pegawai Negara. Hal ini sangat memungkinkan karena pendapatan Negara di masanya melimpah. Sementara penyelewengan kekayaan Negara relatif kecil karena para pejabat, pegawai dan tentara diberi penghasilan yang cukup serta peraturan yang tegas tidak memberi peluang untuk itu.

3. Masa Utsman bin Affan (23-35 H)
Sebagaimana halnya dua khalifah sebelumnya, Usman juga menyampaikan pidato kenegaraan sebagai khalifah. Dalam pidato ini, tidak seperti pidato dua khalifah sebelumnya, tidak memperlihatkan visi politik Usman yang jelas dalam menjalankan pemerintahannya.
Sehubungan dengan pelaksanaan pemerintahan Usman, pada dasarnya tidak berbeda dari pendahulunya. Dalam pidato pembaiatan ia tegaskan akan meneruskan kebiasaan yang dibuat pendahulunya. Pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan Khalifah; pemegang dan pelaksana eksekutif. Pelaksaan tugas eksekutif di pusat dibantu oleh sekretaris Negara. Jabatan ini sangat strategis, karena punya wewenang untuk mempengaruhi keputusan khalifah.
Selain sekretaris Negara khalifah Usman juga dibantu oleh para pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan atau Baitul Mall seperti pada masa pemerintahan Umar. Selain itu pelaksanaan administrasi di daerah, khalifah juga mempercayakan kepada seorang gubernur untuk setiap propinsi yang bertambah menjadi sepuluh propinsi. Sedangkan kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Penasehat atau Majelis Syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka.
Pada masanya, Usman membuat kebijaksanaan perluasan Mesjid Nabawi dan Masjid al- Haram di Madinah. Usman juga menempuh kebijaksanaan memperbanyak mushaf Al-Qur’an dan mengirimkannya untuk beberapa daerah. Disamping itu, ia juga melakukan pembangunan fisik lainnya seperti perumahan penduduk, gedung peradilan, jalan-jalan, jembatan dan fasilitas umum lainnya. Hal-hal lain dalam sistem pemerintahan, Usman agaknya tidak merubah kebijaksanaan yang telah ditempuh Umar.
Pada enam tahun awal pemerintahannya, memang kebijaksanaan politik Usman tidak mengalami tantangan dan protes dari umat Islam. Namun pada enam tahun kedua, Usman mulai diterpa protes dan ketidakpuasan dari berbagai daerah. Banyak kebijakannya yang tidak sejalan dengan aspirasi arus bawah sehingga menimbulkan kekacauan dalam pemerintahannya. Ada tiga hal pokok yang menjadi masalah yaitu ; politik, pendayagunaan kekayaan Negara dan kebijakan keimigrasian.
Dalam bidang politik, banyak sejarawan menilai Usman melakukan praktek nepotisme. Ia mengangkat para pejabat dari kalangan keluarganya, meskipun tidak layak untuk memegang jabatan. Misalnya saja jabatan sekretaris Negara yang merupakan jabatan strategis dan sangat penting dalam pemerintahan, diserahkan kepada Marwan bin Ahkam, saudara sepupunya juga. Marwan adalah politisi licik yang haus kekuasaan. Dialah sebenarnya yang berperan sangat besar dalam mengendalikan roda pemerintahan dan Usman tidak dapat berbuat banyak dan hanya dijadikan sebagai boneka oleh Marwan.
Dalam penyalahgunaan kekayaan Negara, disinyalir pula bahwa Usman dimanfaatkan oleh orang-orang dekatnya untuk menyalahgunakan harta Negara demi kepentingan pribadi dan keluarga mereka. Usman mengambil sebagian kekayaan Negara untuk menutupi kebutuhannya beserta keluarga dan kerabatnya. Setelah kekayaan Negara tidak dapat mencukupi belanja Negara seperti biaya angkatan perang, biaya administrasi, pemerintahan dan kebutuhan pejabat Negara dan keluargannya, Usman menetapkan pajak, kharaj dan jizyah yang memberatkan rakyat. Kebijakan ini sangat berbeda dengan Umar yang memberikan tunjangan kepada seluruh anggota masyarakat berdasarkan jasa dan perjuangan mereka kepada Islam.
Dalam masalah keimigrasian, Usman membolehkan para sahabat-sahabat senior meninggalkan Hijaz menuju berbagai daerah yang dikuasai Islam. Usman memandang tenaga mereka dibutuhkan untuk mengajar agama di daerah-daerah yang baru ditaklukan tersebut. Dan akibatnya kontrol yang diberikan oleh sahabat kepada pemerintahan Usman menjadi sangat berkurang.
Kebijakan-kebijakan ini menimbulkan implikaasi yang luas di kalangan umat Islam dan menyebabkan lahirnya gerakan-gerakan oposisi. Rasa tidak puas dan frustasi dikalangan rakyat Islam melahirkan peristiwa tragis pembunuhan Khalifah Usman di tangan Umat Islam sendiri.

4. Masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H)
Setelah pembunuhan Usman, para pemberontak dari berbagai daerah mencari beberapa sahabat senior untuk dibaiat menjadi khalifah. Namun diantara mereka tidak ada yang bersedia, akhirnya mereka menoleh kepada Ali. Awalnya Ali pun tidak bersedia karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran Perang Badr (sahabat senior). Menurutnya, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang berhak menjadi khalifah. Akhirnya Malik al-Asytar al-Nakha’i melakukan baiat dan diikuti oleh sahabat besar pada keesokan harinya.
Pasca pembunuhan Usman, suasana memang begitu kacau. Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Tidak semua umat Islam membaiat Ali. Di Syam, Muawiyah yang masih keluarganya Usman menuntut balas kepada Ali atas kematian Usman. Ia menganggap Ali berada di belakang kaum pemberontak. Sedangkan di Mekah, Aisyah menggalang kekuatan bersama Tahlan dan Zubeir untuk melawan Ali. Namun demikian Ali tetap dianggap sah menduduki jabatan khalifah, karena didukung oleh sebagian besar rakyat.
Setelah pelantikan, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kacau di Masjid Nabawi. Pidato tersebut menggambarkan bahwa Khalifah Ali menganjurkan dan memerintahkan agar umat Islam :
1. Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang membedakan antara yang baik dan jahat.
2. Taat dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara dan sesama manusia.
3. Saling memelihara kehormatan diantara sesama muslim dan umat lain.
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum, dan
5. Taat dan patuh kepada pemerintah.
Meskipun masa pemerintahan Ali yang selama enam tahun itu tidak sunyi dari pergolakan politik, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ali mengambil kembali harta Negara yang telah dibagi-bagikan Usman kepada pejabat-pejabatnya. Ali juga mengirim surat kepada para gubernur dan para pejabat daerah untuk bijaksana dalam menjalankan tugasnya. Ali pun menyusun undang-undang perpajakan. Dalam sebuah suratnya, Ali menegaskan bahwa pajak tidak boleh diambil tanpa memperhatikan pembangunan rakyatnya. Kepada pejabat di daerah, Ali memerintahkan agar aib orang ditutupi dari pengetahuan orang lain. Untuk keamanan daerah Ali juga menyebar mata-mata(intel).
Dalam sikap egalitarian, Ali bahkan mencontohkan sosok seorang kepala Negara yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya. Sebagai contoh dalam sebuah kasus, Ali berperkara di pengadilan dengan seorang Yahudi mengenai baju besi. Yahudi tersebut dengan berbagai argument dan saksinya mengklaim bahwa baju tersebut miliknya. Karena Ali tidak dapat mengajukan bukti-bukti dalam pembelaannya, maka hakim memutuskan memenangkan dan mengabulkan tuntutan Yahudi tersebut. Orang Yahudi itu malah terkejut dengan keputusan hakim yang tidak memihak. Rupanya orang Yahudi itu hanya ingin menguji kebesaran jiwa khalifah yang ternyata tahan uji. Peristiwa ini menunjukan bahwa prinsip persamaan semua lapisan sosial dan etnik di depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana pada masa-masa sebelumnya.
Di Madinah, posisi Ali memang benar-benar sulit karena penduduk Madinah tidak bulat mendukung Ali. Ia terjepit diantara keinginan untuk memperbaiki situasi Negara yang sudah kacau dengan ambisi lawan-lawan politiknya yang selalu berusaha menjegalnya. Melihat itu kemudian Ali memindahkan Ibu kota Negara ke Kufah karena di Madinah sudah tidak mungkin lagi menjalankan pemerintahanya. Sementara itu di Syam, Muawiyah dikabarkan telah beriap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin pasukan memerangi Muawiyah. Namun rencana tersebut dilakukan, ternyata Aisyah, Thalhah dan Zubeir telah bersiap pula untuk memberontak kepadanya. Ali pun mengalihkan pasukannya ke Basrah memadamkan pemberontakan mereka. Namun terlebih dahulu Ali menawarkan perdamaian dan mengajak berunding. Tetapi tawaran itu ditapik, sehingga perang pun tak terkelakan lagi. Dalam perang yang terkenal dengan “Perang Berunta” ini, pasukan Ali menang dan Zubeir dan Thalhah tewas. Sedangkan Aisyah dilembalikan ke Madinah.
Setelah itu perhatian Ali tertuju pada Muawiyah. Ali menulis surat kepadanya dan menawarkan perundingan. Akan tetapi Muawiyah tetap pada pendiriannya dan terkesan membuka perang saudara. Akhirnya terjadilah peperangan kedua pasukan di Siffin pada bulan Safar tahun 37 H. Ketika Ali hampir menang, Amr ibn al-Ash yang berada di barisan Muawiyah mengangkat mushaf menandakan damai. Perangpun dihentikan dan diadakanlah tahkim kedua belah pihak. Dalam tahkim ini menghasilkan keputusan yang timpang. Ali diturunkan dari jabatannya sedangkan Muawiyah naik memperkuat posisinya menjadi khalifah.
Akibat hasil tahkim yang tidak adil ini, sebagian tentara Ali yang berasal dari Arab Badui memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan Khawarij. Mereka menggerogoti Ali dan membenci Muawiyah yang telah menipu Ali. Disamping itu, mereka juga menganggap para pelaku tahkim sebagai biang kekacauan di dunia Islam. Mereka semua pendosa besar dan harus dibunuh. Namun diantara empat tokoh yang menjadi incaran, yakni Ali, Muawiyah, Amr dan Abu Musa, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Dengan tewasnya Ali, berakhirlah periode pemerintahan Khualafa al-Rasyidin dan Muawiyah pun melenggang menuju kursi khalifah tanpa hambatan yang berarti.

3. Masa bani Umayah (661-750 / 41 - 132 H)
Daulah Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama dua periode, di Suriah hampir satu abad, yaitu sejak 30-132 H atau 660-750 M dan di Spanyol selama 275 tahun, yaitu 756-1031 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa Daulah Umayyah telah memasuki benua Eropa bahkan telah mencapai wilayah Byzantium.
Pada masa pemerintahan Mu’awiyah dilakukan berbagai perubahan dalam pemerintahan. Mengingat berbagai pengamalannya yang pernah menjadi Gubernur di Syam, Mu’awiyah melakukan perubahan pemerintahan, yaitu membentuk jawatan perhubungan (jawatan pos) dan jawatan pendaftaran. Mu’awiyah menduduki jabatan sebagai Khalifah selama hampir 20 tahun.
Para Khalifah pada masa Bani Umayyah, antara lain:
a. Mu’awiyah bin Abu Sufyan
b. Yazid bin Mu’awiyah
c. Mu’awiyah binYazid
d. Marwan bin Hakam
e. Abdul Malik bin Marwan
f. AL-Walid bin Abdul Malik
g. Sulaiman bin Abdul Malik
h. Umar bin Abdul Azis
i. Yazid bin Abdul Malik
j. Hisyam bin Abdul Malik
Sepeninggal Mu’awiyah, pemerintahan dipegang oleh Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa pemerintahannya, prinsip musyawarah yang telah dicanangkan oleh Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin mulai bergeser ke bentuk monarki absolut.
Artinya, pemimpin merupakan raja yang diangkat secara turun-temurun. Akan tetapi, raja-rajanya masih menggunakan gelar khalifah. Pemerintahan Yazid diwarnai oleh berbagai pergolakan politik. Hal ini semakin memuncak setelah terbunuhnya cucu Rasulullah SAW, yaitu Husain bin Ali.
Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Mu’awiyah II. Namun, Mu’awiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena tidak bisa menghadapi pergolakan politik yang terjadi, sampai akhirnya suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah.
Masa kejayaan Bani Umayyah dimulai ketika Abdul Malik bin Marwan memerintah 66-86 H Atau 685-705 M. Berbagai kemajuan dilakukan Abdul Malik, diantaranya:
a. Menetapkan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
b. Mendirikan Balai kesehatan untuk rakyat.
c. Mendirikan Masjid di Damaskus.
Kejayaan Kerajaan Umayyah semakin menonjol setelah diperintah Al-Walid bin Abdul Malik, yaitu tahun 86-96 H atau 705-715 M. Pada masanya, kerajaan Umayyah mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam sampai ke India, Afrika Utara, hingga Maroko, dan Andalusia. Pada masa ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:
a. Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia kecil meliputi Ibukota Konstantinopel serta perluasan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
b. Wilayah Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan menyeberangi selat Jabal tarik (Selat Gibraltar).
c. Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun (Amru Daria).
Ketika kekuasaan Islam berada di tangan kerajaan Bani Umayyah, seni bangunan, misalnya bangunan Qubatus Sarkah di Yerussalem dan bangunan Masjid Nabawiyah di Madinah dapat mencapai ketinggian melampaui batas seni bangun Gothik di Eropa. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan pun tidak ketinggalan. Misalnya, bidang–bidang kedokteran, filsafat, kimia, astronomi, dan ilmu ukur berkembang dengan sangat pesat.
Dengan rentang wilayah kekuasaan yang sangat luas, di abad ke-8 Masehi, Bani Umayah merupakan kekuasaan yang paling besar di dunia. Kekuasaan besar lainnya adalah Dinasti Tang di wilayah Cina serta Romawi yang berpusat di Konstantinopel. Ke wilayah kekuasaan Bani Umayah itulah Islam kemudian menyebar dengan cepat.
Namun adalah sebuah kemustahilan untuk mempertahankan wilayah yang begitu luas terus-menerus. Apalagi masyarakat kemudian kehilangan rasa hormatnya pada kekhalifahan. Pemberontakan muncul di sana-sini. Yang terkuat adalah pemberontakan oleh Abdullah Asy-Syafah, atau Abu Abbas. Ia keturunan Abbas bin Abdul Muthalib paman Rasulullah. Ia disokong oleh keluarga Hasyim -keluarga yang terus berseteru dengan Keluarga Umayah. Kalangan Syi’ah para pendukung fanatik Ali mendukung pula gerakan ini.
Abu Abbas kemudian bersekutu dengan tokoh kuat, Abu Muslim dari Khurasan. Pada tahun 750 Masehi, mereka berhasil menjatuhkan kekuasaan Bani Umayah. Khalifah terakhir, Marwan bin Muhammad, lari ke Mesir namun tertangkap dan dibunuh di sana. Berakhirlah kekuasaan Bani Umayah ini, meskipun keturunannya kemudian berhasil membangun Bani Umayah kedua di wilayah Spanyol.

4. Masa Bani Abbasiyah (750-1517 / 132-923 H)
Kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah merupakan khalifah yang melanjutkan kekuasaan dinasti Ummayah. Dinasti Abbasiyah merupakan kekuasaan yang didirikan oleh keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Yaitu Abdullah Al-Saffan Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas. Pada dinasti Abbasiyah mencapai masa keemasan Islam. Pada masa itu Islam mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban, dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, di tambah lagi dengan banyaknya penerjemah buku-buku bahasa asing ke bahasa arab, dan melahirkan tokoh-tokoh intelektual muslim.
Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata bani Abbas dalam sejarah lebih banyak berbuat dari pada bani Ummayah. Pergantian dinasti Ummayah kepada dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu telah mengubah, menoreh wajah dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada bani Abbasiyah merupakan pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.
Setelah Umayyah jatuh dan digantikan oleh Abbasiyah. Pusat pemerintahan di Baghdad, kota yang dibangun oleh Abu Ja'far al-Mansur khalifah kedua, tahun 145 H./762 M. Selama pemerintahan Abbasiyah, Irak khususnya Baghdad, menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, perdagangan, peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Islam timur. Puncak kejayaan dicapai pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809) dan Khalifah al-Makmun (813-833). Dalam kurun waktu tersebut mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi, berbagai cabang ilmu pengetahuan, konstruksi dan teknologi, kesenian, sastra dan politik yang stabil di wilayah kekuasaan yang luas. Setelah kurun waktu tersebut, mengalami disintegrasi politik.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasyiah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisua dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031. Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Bagdad (sekarang ibu kota Irak) sejak tahun 750. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini meredup setelah naiknya bangsa tentara-tentara Turki yang mereka bentuk. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Bagdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Bagdad.

5. Turki Ustmani
Dinasti Utsmani berasal dari suku bangsa pengembara Qatigh Oghuz (Kayi), salah satu anak suku Turk yang mendiami sebelah barat gurun Gobi, wilayah Asia Tengah. Pemimpin suku Kayi, Sulaiman Syah mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol yang menyerang dunia Islam yang berada dibawah kekuasaan Dinasti Khawarizm pada tahun 1219-1229. dan lari ke arah Barat, Asia Kecil dan meminta perlindunga Jalaluddin, pemimpin terahir dinasti Khawarizm di Tranxisonia (Ma Wara’a al Nahri). Setelah serangan bangsa Mongol mereda, mereka berencana pindah ke Syam, namun mendapat kecelakaan hanyut di sungai Euphrat yang tiba-tiba pasang pada tahun 1228 M.
Mereka akhirnya terbagi menjadi 2 kelompok yang pertama ingin kembali ke daerah asalnya; dan yang kedua meneruskan perjalanan ke Asia Kecil. Kelompok kedua berjumlah sekitar 400 keluarga yang diimpin oleh Arthogol ibn Sulaiman. Mereka menghambakan diri kepada sultan Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang berpusat di Kuniya, Anatolia, Asia Kecil.
Tatkala Dinasti Seljuk Rum berperang melawan Romawi Timur (Bizantium), Erthogol membantunya hingga mendapatkan kemenangan. Sultan memberikan hadiah wilayah yang berbatasan dengan Bizantium. Erthagol membangun daerah “perdikan” itu dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut sebagian wilayah Bizantium. Mereka menjadikan Sogut menjadi pusat kekasaannya yang independen pada tahun 1258 M. Disinilah lahir Utsman yang diperkirakan tahun 1258. Nama Utsman itulah yang diambil sebagai nama untuk Dinasti Turki Utsmani.
Erthogol meninggal tahun 1280 M. Utsman ditunjuk sebagai penggantinya pemimpin suku bangsa Turki atas persetujuan Sultan Seljuq. Sultan banyak memberikan hak istimewa dan mengangkatnya menjadi Gubernur dengan gelar Bey di belakang namanya. Namun, sebagian ahli menyebut bahwa Utsman adalah anak Sauji. Sauji adalah anak Erthogol, sehingga Utsman adalah cucu dari Erthogol. Sauji telah meninggal sebelum ayahnya dalam perjalanan pulang dari tugas menghadap Sultan Seljuq.
Setelah wilayah kekuasaan Saljuq Rum ditahlukan oleh bangsa Mongol, Utsman memerdekakan diri dan dapat bertahan dari serangan Mongol. Bekas wilayah Saljuq dijadikan basis kekuasaannya dan para penguasa Saljuq yang tersisa mengangkatnya sebagai pemimpin pada tahun 1300 M. maka berdirilah kerajaan Utsmaniyah yang dipimpin oleh Utsman dengan gelar Padisyah Alu Utsman atau lebih dikenal dengan Utsman I. Dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 7 abad. (625 tahun).
Raja-Raja Turki Utsmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi, sedangkan khalifah berkuasa di bidang agama atau spiritual. Mereka mendapatkan kekuasaan secara turun temurun, walau tidak harus dari putra pertama, bahkan dapat diwariskan kepada saudaranya. Khilafah Bani Utsmaniyyah tercatat memiliki kurang lebih 38 orang khalifah, yang berlangsung mulai dari abad 10 Hijriyah atau abad ke enam belas Masehi.
Dalam sekian lama kekuasaannya, yakni sekitar 625 tahun, tidak kurang dari 38 sultan. Dari 38 sultan yang pernah memerintah Turki Utsmani, Syafiq A. Mughni membaginya ke dalam lima periode:
1. Periode pertama (1229- 1402 M). Periode ini dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur Lank. Sultan-sultan yang memimpin pada periode ini adalah Utsman I, Orkhan, Murad I, dan Bayazid I.
2. Periode kedua (1402-1556 M). Periode ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai pada ekspansinya yang terbesar khususnya pada masa Sultan Salim I putra Sultan Bayazid II yang berhasil menguasai Afrika Utara, Syiria, dan Mesir yang pada waktu itu Mesir diperintah oleh kaum Mamluk yang dipimpin oleh Al Mutawakkil ‘Ala Allah pada 1517 M. Sultan-sultan yang memimpin pada periode ini adalah Muhammad I, Murad II, Muhammad II, Bayazid II, Salim I dan Sulaiman I Al Qanuni.
Pada periode ini Dinasti Turki Utsmani mencapai masa keemasannnya pada masa pemerintahan Sulaiman I Al Qanuni. Wilayahnua meliputi Daratan Eropa hingga Austria, Mesir, Afrika Utara, Al Jazair, Asia hingga ke Persia; serta melingkupi Lautan Hindia, Laut Arabia, Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Ia dijuluki Al Qanuni karena memberlakukan undang-undang dinegerinya. Orang Barat menyebutnya The Magnificient (Sulaiman yang agung), karena Al Qanuni lah yang menyebut dirinya sultan dari segala sultan.
3. Periode ketiga (1556-1699M). Periode ini ditandai dengan kemampuan dalam mempertahankan wilayahnya karena masalah perang yang terus menerus terjadi karena alasan domestik, disamping juga gempuran dari daerah luar. Sultan-Sultan yang memimpin pada periode ini adalah: Salim II, Murad III, Muhammad III, Ahmad I, Mustafa I, Utsman II, Mustafa I (yang keduakalinya), Muarad IV, Ibrahim I, Muhammad IV, Sulaiman III, Ahmad II, dan Mustafa II.
4. Periode keempat (1699-1839 M). Periode ini ditandai dengan bersurutnya kekuatan kerajaan dan terpecahnya wilayah di tangan para penguasa wilayah. Sultan-sultannya adalah sebagai berikut: Ahmad III, Mahmud I, Utsman III, Mustafa III, Abdul Hamid I, Salim III, Mustafa IV, dan Mahmud II.
5. Periode kelima (1839-1922 M). Periode ini ditandai oleh kebangkitan kultural dan administratif dari negara di bawah pengaruh ide-ide Barat. Sultannya adalah Abdul Majid I, Abdul Aziz, Murad V, Abdul Hamid II, Muhammad V, Muhammad VI, dan Abdul Majid II. Sultan sebagaimana yang tersebut terahir hanya bergelar khlaifah, tanpa sultan yang ahirnya diturunkan pula dari jabatan khalifah.
Akhir pemerintahan kerajaan Turki Utsmani ini berawal dari kegiatan orang-orang Persatuan dan Pembangunan yang mempengaruhi Sultan Muhammad Rasyad untuk mengarahkan pemerintahan Utsmani pada sebuah Negara nasional yang tidak berlandaskan agama. Tatkala Inggris menduduki Istanbul dan Sultan menjadi laksana seorang tawanan di tangan mereka, maka Perwakilan Tinggi Inggris dan Jendral Huzention (panglima pasukan sekutu di Istanbul menjadi memegang kekuasaan sebenarnya).
Di saat-saat kritis seperti ini, muncullah Mustafa Kemal At-Taturk sebagai seorang yang menyerupai seorang penyelamat kehormatan pemerintahan. Mustafa Kemal mendengungkan spirit jihad di Turki dan mengangkat Al-Qur’an dan berhasil mengusir orang-orang Yunani serta membuat orang-orang Inggris menarik diri tanpa terjadi bentrok senjata apapu. Bahkan tanpa mengalami kesulitan apapun, dia berhasil menguasai beberapa tempat strategis. Sementara itu dunia Islam menyambutnya dengan penuh antusias dan memberinya gelar “Ghazi” (panglima perang yang gagah dan tanpa tanding). Para penyair memujinya dan mendapatkan sambutan hangat dari para khatib.
Beberapa kebijakan yang dibuat dalam undang-undang pada era rezim Mustafa Kemal adalah :
1. Undang-undang tentang unifikasi dan sekularisasi pendidikan, tanggal 3 Maret 1924;
2. Undang-undang tentang kopiyah, tanggal 1925;
3. Undang-undang tentang pemberhentian petugas jemaah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman, tanggal 30 November 1925;
4. Peraturan sipil tentang perkawinan, tanggal 17 Februari 1926;
5. Undang-undang penggunaan huruf latin untuk abjad Turki dan penghapusan tulisan Arab, tanggal 1 November 1928; dan
6. Undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli, tanggal 1934.s
Selama masa pemerintahannya justru dia melakukan kediktatoran dalam pemrintahannya. Dia mulai meniupkan ruh nasionalisme di tengah-tengah bangsa Turki. Pemerintahan At-Taturk sangat menaruh perhatian yang demikian tinggi terhadap semua yang berbau Eropa. Bahkan pemerintah memerintahkan kaum wanita untuk meninggalkan jilbab dan membiarkan mereka berkeliaran dimana-mana dengan tanpa jilbab. At-Turk juga memerintahkan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Turki, sehingga kehilangan makna-maknanya dan cita rasa bahasanya. Dia memerintahkan agar adzan dilakukan dengan menggunakan bahasa Turki. Bahkan pemerintah juga mengumumkan keinginannya untuk berkiblat pada Eropa dan memisahkan dirinya dari dunia Islam dan Arab. Pemerintah bertekad untuk mengenyampingkan Islam, sehingga dia harus memerangi semua usaha untuk menghidupkan prinsip nilai-nilai Islam dengan cara yang demikian kasar dan keras.
Sesungguhnya sebab-sebab keruntuhan pemerintah Utsmani sangatlah banyak, yang semuanya tersimpul pada semakin menjauhnya pemerintahan Utsmani terhadap pemberlakuan syari’ah Allah yang menyebabkan kesempitan dan kesengsaraan bagi umat Islam di dunia. Dampak dari menjauhnya pemerintahan Utsmani dari syari’ah Allah ini tampak sekali dalam kehidupan yang bersifat keagamaan, sosial, politik dan ekonomi.
Ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan Utsmani tersebut diantaranya :
1. Penyempitan Makna Ibadah
2. Menyebarnya Fenomena Syirik, Bid’ah dan Khurafat
3. Sufi Yang menyimpang
4. Gencarnya Aktifitas Kelompok-kelompok Menyimpang
5. Tidak Adanya Pemimpin Rabbani
6. Penolakan Dibukanya Pintu Ijtihad
7. Menyabarnya Kedzaliman Dalam Pemerintahan Utsmani
8. Foya-foya dan Tenggelam Dalam Syahwat
9. Perselisihan dan Perpecahan

0 komentar:

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP