Senin, 12 April 2010

Pengaruh Orientalis Terhadap Study Islam
oleh
Padil Hidayat

Pendahuluan

Salahlah orang yang berpendapat bahwa orientalisme merupakan gerakan ilmiah yang tujuannya hanya memperdalam masalah ketimuran saja (kepercayaan, adat dan peradabannya). Sebenarnya orientalisme hakekat dan kenyataannya adalah alat penjajah, tujuan orientalisme ini adalah memakai dan mempergunakan penelitian masalah ketimuran sebagai langkah untuk menyerang atau memerangi Islam, menimbulkan rasa keragu-raguan terhadap sumber-sumber Islam agar umat Islam berpaling dari agamanya, agar umat Islam jangan sampai pada kemuliaan kekuatannya, tetapi selalu mengekor kepada barat, dan selalu taklid, masa bodoh dan apatis melihat segala kejahatan dan kemerosotan di negeri mereka.

Orientalisme ini hakekatnya adalah lanjutan dari perang salib melawan Islam, sebab perang salib ini belum berhenti, tetapi hanya mengambil bentuk dan warna yang berbeda, diantaranya adalah orientalis.

Orientalisme muncul dengan kedok sebagai para ahli untuk mengadakan risset dan survey tentang sesuatu bidang ilmu pengetahuan dengan maksud tertentu untuk memasukan berbagai macam fitnah, menyebarkan isue-isue, melampiaskan segala isi hatinya dan kedengkiannya terhadap Islam dan menulisi Islam dengan pena yang beracun.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universiti Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristian yang berbahasa Yunani”. Mengapa missionaris satu ini menyeru begitu?

Seruan semacam itu dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang-orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap Umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan Kristen sudah sejak lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu.

Terlalu banyak campur tangan manusia didalamnya, sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland: “Sampai awal abad keempat, teks Perjanjian Baru dikembangkan secara bebas...Bahkan untuk nanti ahli-ahli Taurat, misalnya, bagian-bagian paralel dalam Injil itu begitu akrab bahwa mereka akan menyesuaikan teks dari satu Injil kepada yang lain. Mereka juga merasa diri mereka bebas untuk melakukan koreksi dalam teks, memperbaiki dengan standar mereka sendiri, apakah gramatikal, Gaya, atau lebih substantive” .

Pengaruh Orientalis terhadap Studi Islam
Sebuah kajian yang sangat kritis dan serius tentang kajian orientalisme dalam studi Islam baru-baru ini dibahas dalam Jurnal ISLAMIA Vol II/3. Dalam tulisannya, Hamid Fahmy Zarkasyi menunjukkan, bahwa betapa pun halusnya, ada saja kekeliruan orientalis dalam melakukan studi terhadap Islam. Montgomery Watt, misalnya, yang selama ini dianggap orientais moderat, ketika menulis tentang Al-Quran dan hadits, ia juga meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan, bahwa bagian Al-Quran dan hadits adalah dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber pandangan hidup Islam.

Dalam buku yang dijadikan referensi kurikulum Kajian Orientalisme di UIN Jakarta, Arkoun jelas-jelas mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali dan membongkar-bongkar hal-hal yang sudah dianggap mapan oleh umat Islam. Misalnya, ia mengajak untuk mengkritisi Al-Quran. Bahkan, ia secara terang-terangan menyayangkan mengapa kaum muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya .

Diantara buku rujukan “Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, juga disebutkan buku Kenneth Cragg berjudul ‘The Event of the Quran: Islam in Its Scripture. A’zhami mencatat, bahwa Cragg adalah seorang pemimpin Gereja Anglikan yang juga mengimbau agar umat Islam memikirkan kembali konsep wahyu tradisional Islam dan mengusulkan agar ayat-ayat Madaniah ditinggalkan.

Kasus kurikulum jurusan Tafsir-Hadis di UIN Jakarta ini merupakan bukti nyata, bahwa infiltrasi Orientalisme dalam studi Islam di perguruan tinggi Islam, sudah terlalu jauh mencengkeram para akademisi Muslim. Ini sangat ironis, padahal betapa pun para kajian orientalis dalam studi Al-Quran sudah terbukti mengandung berbagai penyimpangan.

Adalah aneh, jika tujuan kurikulum itu adalah mengarahkan agar mahasiswa jurusan tafsir-hadits di UIN Jakarta dapat memahami dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Quran dan hadis. Ini aneh dan ajaib. Apakah dosen-dosen yang mengajarkan mata kuliah ini menyadari dampak yang ditimbulkan dari kurikulum semacam ini?
Tahun 2004 lalu, Kompas menerbitkan buku seorang almunus Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, berjudul “Islam Mazhab Kritis”. Tetapi anehnya, buku ini sama sekali tidak kritis dalam mengutip pemikiran Arkoun dan pemikir liberal lainnya, seperti Nasr Hamid Abu Zayd. Sarjana agama dari UIN Jakarta itu menulis: “Al-Quran sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Quran dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya.”

Di zaman modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Mohammed Arkoen mungkin orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu”.
Pemberian gelar “mufassir terkemuka” kepada Rahman dan Arkoun adalah sesuatu pemujaan yang berlebihan dan sama sekali bukan sikap kritis, sebab kedua orang itu hingga kini, belum pernah menghasilkan sebuah kitab tafsir pun, dan teori tafsirnya pun meminjam dari sejumlah pemikir Barat dalam hermeneutika.

Apabila kurikulumnya saja seperti itu, bisa dimaklumi, jika ada sarjana jurusan tafsir-hadis yang sama sekali tidak kritis terhadap kajian hasil orientalis dan ‘pengikutnya’, tetapi pada saat yang sama, menjadi sangat kritis terhadap para sahabat Nabi dan para ulama Islam terkemuka. Sikap itu bisa disebabkan karena kebodohan atau bisa juga karena penyakit dalam hatinya, yang memang sudah condong kepada kebatilan. Bahkan, ada seorang sarjana agama dari IAIN Semarang, yang dengan ringannya menulis dalam sebuah jurnal: “Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (wahyu eksplisit dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (wahyu implisit berupa konteks sosial waktu itu).

Pengaruh orientalisme terhadap studi Islam pada saat ini memang dirasa sangat hebat, banyak sekali akademisi muslim yang sudah “dicuci otaknya” sehingga mereka berputar haluan menjadi cendikiawan muslim yang malah menghujat agamanya sendiri. Selain para akademisi muslim yang ada di UIN Jakarta dan IAIN Semarang, masih banyak lagi akademisi yang sudah terpengaruh oleh orientalisme, misalnya saja Jaringan Islam Liberal.

Jaringan Islam Liberal merupakan suatu forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Tujuan utamanya adalah menyebarkan gagasan Liberalisme seluas-luasnya kepada masyarakat. Adapun beberapa tujuan lain dari JIL adalah ingin membuat suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan sebagai berikut:
1. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang,
2. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks,
3. Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural,
4. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas,
5. Kebebasan beragama dan berkepercayaan,
6. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik,

Menurut JIL, nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang menekankan kebebasan pribadi (sesuai dengan doktrin kaum Mu'tazilah tentang kebebasan manusia), dan “pembebasan” struktur sosial-politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Sederhananya JIL ingin mengatakan bahwa secara pribadi bebas menafsirkan Islam sesuai hawa nafsunya dan membebaskan negara dari intervensi agama (sekuler).
Unik memang, pada saat seseorang telah menyatakan menganut Islam maka ia terikat dengan hukum syara’ atau ia seorang mukhallaf dan ia tidak bebas lagi karena ucapan dan perilakunya telah dibatasi oleh syari’at. Disisi lain bagaimana mungkin bisa menggabungkan antara Islam dan Liberal karena keduanya adalah ideologi yang saling bertentangan. Islam meyakini bahwa Syari’at Allah harus dijalankan diseluruh sisi kehidupan, sedangkan Liberal meyakini pemisahan urusan agama dan negara.

Kesimpulan
Di dalam hal ini, pengaruh orientalis terhadap cendikiawan-cendikiawan muslim sangatlah besar. Hal ini bisa kita rasakan ketika makin maraknya hujatan-hujatan yang dikeluarkan oleh akademisi Islam yang sudah terpengaruh oleh orientalis kepada agamanya sendiri, baik itu terhadap Allah SWT, Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw dan Hadistnya.

Banyak sekali metode-metode yang digunakan oleh para orientalis untuk memancing para akademisi muslim untuk bergabung dengan mereka. Bisa jadi, salah satu dari beberapa program beasiswa untuk studi diluar negri pun sengaja mereka adakan untuk mempengaruhi para akademisi muslim yang cerdas dan berkopeten.
Dari beberapa fakta yang ada bahwa pengaruh orientalis terhadap studi Islam itu sudah dirasa sangat berbahaya, maka dari itu kita perlu mewaspadai dan mengkritisi segala sesuatu yang berhubungan dengan orientalisme.

Kepemilikan Hak Atas Tanah
oleh
padil hidayat

Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyatnya masih bersifat agraris, dimana perekonomiannya masih bertumpu pada ekonomi pertanian, maka diperlukan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang status kepemilikan tanah. Indonesia memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang pertanahan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria yang kemudian disebut UUPA, yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 24 September 1960, termasuk di dalamnya tercakup hukum Agraria Administratif dan hukum Agraria Perdata.

Negara Indonesia sebagai bentuk organisasi kekuatan rakyat memiliki hak untuk mengatur tentang pendayagunaan tanah dan penguasaannya serta pemilikannya. Sehingga praktek-praktek yang merugikan kepentingan umum dapat dihindarkan. Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, maka dalam Pasal 2 Ayat 3 UUPA memberikan wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, kesejahteraan, adil dan damai. Atas dasar hak menguasai sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA, maka dalam Pasal 4 Ayat 1 ditentukan macam-macam hak atas tanah. Di antaranya adalah hak milik-hak milik atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, akan tetapi harus mengingat kepentingan umum.

Hak atas tanah sendiri sebagaimana telah disebutkan oleh Sudargo (2002) adalah macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama oleh orang lain serta badan-badan hukum. Pada Pasal 16 Ayat (1) UUPA ditetapkan macam-macam hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1) UUPA ialah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dn hak-hak lain yang tidak disebutkan di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53 UUPA.

Pemindahan atau peralihan hak atas tanah menurut pengertian Sudargo (2002) adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan. Pengalihan atau pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak atau barang atau benda bergerak atau tidak bergerak.

Peralihan tanah dapat terjadi dengan cara hibah jual beli dan tukar menukar yakni pada waktu yang bersangkutan masih dalam keadaan hidup, dengan pemberian wasiat apabila peralihan hak terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia. UUPA mengatur mengenai pemindahan/peralihan hak atas tanah yaitu Pasal 20 Ayat (2), yaitu “hak milik dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain”. Pasal 20 Ayat (3) yaitu “hak guna usaha dapat beralih dengan dialihkan kepada pihak lain

Kepemilikan tanah mengandung 2 aspek pembuktian agar kepemilikan tersebut dapat dikatakan kuat dan sempurna, yaitu :

a. Bukti Surat

Bukti kepemilikan yang terkuat adalah sertifikat tanah, namun itu tidaklah mutlak. Artinya, sebuah sertifikat dianggap sah dan benar selama tidak terdapat tuntutan pihak lain untuk membatalkan sertifikat tersebut. Ketidakmutlakan itu untuk menjamin asas keadilan dan kebenaran. Oleh karenanya, ada 4 hal/prinsip yang wajib dipenuhi dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah yaitu:

1. Status/dasar hukum (alas hak kepemilikan).
Hal ini untuk mengetahui/memastikan dengan dasar apa tanah tersebut diperoleh; apakah jual beli, hibah, warisan, tukar-menukar, atau dari hak garap tanah negara, termasuk juga riwayat tanahnya.

2. Identitas pemegang hak (kepastian subyek).
Untuk memastikan siapa pemegang hak sebenarnya dan apakah orang tersebut benar-benar berwenang untuk mendapatkan hak tanah yang dimaksud.

3. Letak dan luas obyek tanah (kepastian obyek).
Yang diwujudkan dalam bentuk surat ukur/gambar situasi (GS) untuk memastikan di mana letak/batas-batas dan luas tanah tersebut agar tidak tumpang tindih dengan tanah orang lain, termasuk untuk memastikan obyek tanah tersebut ada atau tidak ada (fiktif).

4. Prosedur penerbitannya (prosedural).
Harus memenuhi asas publisitas yaitu dengan mengumumkan pada kantor kelurahan atau kantor pertanahan setempat tentang adanya permohonan hak atas tanah tersebut, agar pihak lain yang merasa keberatan dapat mengajukan sanggahan sebelum pemberian hak (sertifikat) itu diterbitkan (pengumuman tersebut hanya diperlukan untuk pemberian hak/sertifikat baru bukan untuk balik nama sertifikat). Prosedur teknis lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pendaftran Tanah (PP No. 24 tahun 1997).

Bilamana terdapat cacat hukum, dengan kata lain tidak memenuhi syarat dari salah satu atau lebih dari 4 prinsip di atas, maka konsekuensinya pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap tanah tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan sertifikat, baik melalui Putusan Pengadilan ataupun Putusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Selain sertifikat, terdapat pula bukti surat lainnya yang biasa dikenal dengan nama Girik, Ketitir, Ireda, Ipeda, SPPT (PBB) untuk tanah-tanah milik adat atau tanah garapan. Namun, sebenarnya dokumen tersebut bukanlah tanda bukti kepemilikan, tetapi tanda bukti pembayaran pajak. Hal ini dapat membuktikan bahwa orang pemegang dokumen tersebut adalah orang yang menguasai atau memanfaatkan tanah tersebut yang patut diberikan hak atas tanah.

Di dalam prakteknya, dokumen sejenis ini cukup kuat dijadikan dasar permohonan hak atas tanah atau sertifikat, karena pada dasarnya hukum tanah kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pasal 5, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

b. Bukti Fisik

Ini untuk memastikan bahwa orang yang bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik tanah tersebut dan menghindari terjadi dua penguasaan hak yang berbeda yaitu hak atas (fisik) dan hak bawah (surat). Hal ini penting di dalam proses pembebasan tanah, khususnya dalam pelepasan hak atau ganti rugi, dan untuk memastikan bahwa si pemegang surat (sertifikat) tersebut tidak menelantarkan tanah tersebut karena adanya fungsi sosial tanah.

Dalam hal ini, yang paling penting adalah aspek legalnya. Juga beberapa hal tentang pembayaran dan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), guna mencegah kerugian di kemudian hari. Beberapa hal yang perlu diperhtikan antara lain.

1. Pengecekan keabsahan sertifikat tanah di kantor pertanahan setempat dan memastikan rumah tersebut letaknya sesuai dengan gambar situasi di sertifikat.
2. Memastikan bahwa si penjual adalah pemegang hak yang sah atas rumah tersebut dengan cara memeriksa buku nikah dan Fatwa Waris, untuk mengetahui siapa saja ahli waris yang sah, karena harta tersebut adalah harta warisan dari suaminya.
3. Meminta surat keterangan dari pengadilan negeri setempat, apakah rumah tersebut dalam sengketa atau tidak.
4. Meminta keterangan tentang advis planning dari Kantor Dinas Tata Kota setempat untuk mengetahui rencana perubahan peruntukan di lokasi tersebut.
5. Memeriksa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk memastikan apakah renovasi tersebut sesuai dengan IMB perubahannya. Jika tidak bangunan itu bisa disegel atau denda.
6. Memastikan yang menandatangani AJB dari pihak penjual adalah ahli waris yang sah atau setidaknya mempunyai kuasa untuk kepentingan tersebut.

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP