Senin, 12 April 2010

Kepemilikan Hak Atas Tanah
oleh
padil hidayat

Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyatnya masih bersifat agraris, dimana perekonomiannya masih bertumpu pada ekonomi pertanian, maka diperlukan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang status kepemilikan tanah. Indonesia memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang pertanahan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria yang kemudian disebut UUPA, yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 24 September 1960, termasuk di dalamnya tercakup hukum Agraria Administratif dan hukum Agraria Perdata.

Negara Indonesia sebagai bentuk organisasi kekuatan rakyat memiliki hak untuk mengatur tentang pendayagunaan tanah dan penguasaannya serta pemilikannya. Sehingga praktek-praktek yang merugikan kepentingan umum dapat dihindarkan. Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, maka dalam Pasal 2 Ayat 3 UUPA memberikan wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, kesejahteraan, adil dan damai. Atas dasar hak menguasai sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA, maka dalam Pasal 4 Ayat 1 ditentukan macam-macam hak atas tanah. Di antaranya adalah hak milik-hak milik atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, akan tetapi harus mengingat kepentingan umum.

Hak atas tanah sendiri sebagaimana telah disebutkan oleh Sudargo (2002) adalah macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama oleh orang lain serta badan-badan hukum. Pada Pasal 16 Ayat (1) UUPA ditetapkan macam-macam hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1) UUPA ialah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dn hak-hak lain yang tidak disebutkan di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53 UUPA.

Pemindahan atau peralihan hak atas tanah menurut pengertian Sudargo (2002) adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan. Pengalihan atau pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak atau barang atau benda bergerak atau tidak bergerak.

Peralihan tanah dapat terjadi dengan cara hibah jual beli dan tukar menukar yakni pada waktu yang bersangkutan masih dalam keadaan hidup, dengan pemberian wasiat apabila peralihan hak terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia. UUPA mengatur mengenai pemindahan/peralihan hak atas tanah yaitu Pasal 20 Ayat (2), yaitu “hak milik dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain”. Pasal 20 Ayat (3) yaitu “hak guna usaha dapat beralih dengan dialihkan kepada pihak lain

Kepemilikan tanah mengandung 2 aspek pembuktian agar kepemilikan tersebut dapat dikatakan kuat dan sempurna, yaitu :

a. Bukti Surat

Bukti kepemilikan yang terkuat adalah sertifikat tanah, namun itu tidaklah mutlak. Artinya, sebuah sertifikat dianggap sah dan benar selama tidak terdapat tuntutan pihak lain untuk membatalkan sertifikat tersebut. Ketidakmutlakan itu untuk menjamin asas keadilan dan kebenaran. Oleh karenanya, ada 4 hal/prinsip yang wajib dipenuhi dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah yaitu:

1. Status/dasar hukum (alas hak kepemilikan).
Hal ini untuk mengetahui/memastikan dengan dasar apa tanah tersebut diperoleh; apakah jual beli, hibah, warisan, tukar-menukar, atau dari hak garap tanah negara, termasuk juga riwayat tanahnya.

2. Identitas pemegang hak (kepastian subyek).
Untuk memastikan siapa pemegang hak sebenarnya dan apakah orang tersebut benar-benar berwenang untuk mendapatkan hak tanah yang dimaksud.

3. Letak dan luas obyek tanah (kepastian obyek).
Yang diwujudkan dalam bentuk surat ukur/gambar situasi (GS) untuk memastikan di mana letak/batas-batas dan luas tanah tersebut agar tidak tumpang tindih dengan tanah orang lain, termasuk untuk memastikan obyek tanah tersebut ada atau tidak ada (fiktif).

4. Prosedur penerbitannya (prosedural).
Harus memenuhi asas publisitas yaitu dengan mengumumkan pada kantor kelurahan atau kantor pertanahan setempat tentang adanya permohonan hak atas tanah tersebut, agar pihak lain yang merasa keberatan dapat mengajukan sanggahan sebelum pemberian hak (sertifikat) itu diterbitkan (pengumuman tersebut hanya diperlukan untuk pemberian hak/sertifikat baru bukan untuk balik nama sertifikat). Prosedur teknis lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pendaftran Tanah (PP No. 24 tahun 1997).

Bilamana terdapat cacat hukum, dengan kata lain tidak memenuhi syarat dari salah satu atau lebih dari 4 prinsip di atas, maka konsekuensinya pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap tanah tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan sertifikat, baik melalui Putusan Pengadilan ataupun Putusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Selain sertifikat, terdapat pula bukti surat lainnya yang biasa dikenal dengan nama Girik, Ketitir, Ireda, Ipeda, SPPT (PBB) untuk tanah-tanah milik adat atau tanah garapan. Namun, sebenarnya dokumen tersebut bukanlah tanda bukti kepemilikan, tetapi tanda bukti pembayaran pajak. Hal ini dapat membuktikan bahwa orang pemegang dokumen tersebut adalah orang yang menguasai atau memanfaatkan tanah tersebut yang patut diberikan hak atas tanah.

Di dalam prakteknya, dokumen sejenis ini cukup kuat dijadikan dasar permohonan hak atas tanah atau sertifikat, karena pada dasarnya hukum tanah kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pasal 5, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

b. Bukti Fisik

Ini untuk memastikan bahwa orang yang bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik tanah tersebut dan menghindari terjadi dua penguasaan hak yang berbeda yaitu hak atas (fisik) dan hak bawah (surat). Hal ini penting di dalam proses pembebasan tanah, khususnya dalam pelepasan hak atau ganti rugi, dan untuk memastikan bahwa si pemegang surat (sertifikat) tersebut tidak menelantarkan tanah tersebut karena adanya fungsi sosial tanah.

Dalam hal ini, yang paling penting adalah aspek legalnya. Juga beberapa hal tentang pembayaran dan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), guna mencegah kerugian di kemudian hari. Beberapa hal yang perlu diperhtikan antara lain.

1. Pengecekan keabsahan sertifikat tanah di kantor pertanahan setempat dan memastikan rumah tersebut letaknya sesuai dengan gambar situasi di sertifikat.
2. Memastikan bahwa si penjual adalah pemegang hak yang sah atas rumah tersebut dengan cara memeriksa buku nikah dan Fatwa Waris, untuk mengetahui siapa saja ahli waris yang sah, karena harta tersebut adalah harta warisan dari suaminya.
3. Meminta surat keterangan dari pengadilan negeri setempat, apakah rumah tersebut dalam sengketa atau tidak.
4. Meminta keterangan tentang advis planning dari Kantor Dinas Tata Kota setempat untuk mengetahui rencana perubahan peruntukan di lokasi tersebut.
5. Memeriksa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk memastikan apakah renovasi tersebut sesuai dengan IMB perubahannya. Jika tidak bangunan itu bisa disegel atau denda.
6. Memastikan yang menandatangani AJB dari pihak penjual adalah ahli waris yang sah atau setidaknya mempunyai kuasa untuk kepentingan tersebut.

0 komentar:

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP