Pengaruh Orientalis Terhadap Study Islam
oleh
Padil Hidayat
oleh
Padil Hidayat
Pendahuluan
Salahlah orang yang berpendapat bahwa orientalisme merupakan gerakan ilmiah yang tujuannya hanya memperdalam masalah ketimuran saja (kepercayaan, adat dan peradabannya). Sebenarnya orientalisme hakekat dan kenyataannya adalah alat penjajah, tujuan orientalisme ini adalah memakai dan mempergunakan penelitian masalah ketimuran sebagai langkah untuk menyerang atau memerangi Islam, menimbulkan rasa keragu-raguan terhadap sumber-sumber Islam agar umat Islam berpaling dari agamanya, agar umat Islam jangan sampai pada kemuliaan kekuatannya, tetapi selalu mengekor kepada barat, dan selalu taklid, masa bodoh dan apatis melihat segala kejahatan dan kemerosotan di negeri mereka.
Orientalisme ini hakekatnya adalah lanjutan dari perang salib melawan Islam, sebab perang salib ini belum berhenti, tetapi hanya mengambil bentuk dan warna yang berbeda, diantaranya adalah orientalis.
Orientalisme muncul dengan kedok sebagai para ahli untuk mengadakan risset dan survey tentang sesuatu bidang ilmu pengetahuan dengan maksud tertentu untuk memasukan berbagai macam fitnah, menyebarkan isue-isue, melampiaskan segala isi hatinya dan kedengkiannya terhadap Islam dan menulisi Islam dengan pena yang beracun.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universiti Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristian yang berbahasa Yunani”. Mengapa missionaris satu ini menyeru begitu?
Seruan semacam itu dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang-orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap Umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan Kristen sudah sejak lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu.
Terlalu banyak campur tangan manusia didalamnya, sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland: “Sampai awal abad keempat, teks Perjanjian Baru dikembangkan secara bebas...Bahkan untuk nanti ahli-ahli Taurat, misalnya, bagian-bagian paralel dalam Injil itu begitu akrab bahwa mereka akan menyesuaikan teks dari satu Injil kepada yang lain. Mereka juga merasa diri mereka bebas untuk melakukan koreksi dalam teks, memperbaiki dengan standar mereka sendiri, apakah gramatikal, Gaya, atau lebih substantive” .
Pengaruh Orientalis terhadap Studi Islam
Sebuah kajian yang sangat kritis dan serius tentang kajian orientalisme dalam studi Islam baru-baru ini dibahas dalam Jurnal ISLAMIA Vol II/3. Dalam tulisannya, Hamid Fahmy Zarkasyi menunjukkan, bahwa betapa pun halusnya, ada saja kekeliruan orientalis dalam melakukan studi terhadap Islam. Montgomery Watt, misalnya, yang selama ini dianggap orientais moderat, ketika menulis tentang Al-Quran dan hadits, ia juga meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan, bahwa bagian Al-Quran dan hadits adalah dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber pandangan hidup Islam.
Dalam buku yang dijadikan referensi kurikulum Kajian Orientalisme di UIN Jakarta, Arkoun jelas-jelas mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali dan membongkar-bongkar hal-hal yang sudah dianggap mapan oleh umat Islam. Misalnya, ia mengajak untuk mengkritisi Al-Quran. Bahkan, ia secara terang-terangan menyayangkan mengapa kaum muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya .
Diantara buku rujukan “Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, juga disebutkan buku Kenneth Cragg berjudul ‘The Event of the Quran: Islam in Its Scripture. A’zhami mencatat, bahwa Cragg adalah seorang pemimpin Gereja Anglikan yang juga mengimbau agar umat Islam memikirkan kembali konsep wahyu tradisional Islam dan mengusulkan agar ayat-ayat Madaniah ditinggalkan.
Kasus kurikulum jurusan Tafsir-Hadis di UIN Jakarta ini merupakan bukti nyata, bahwa infiltrasi Orientalisme dalam studi Islam di perguruan tinggi Islam, sudah terlalu jauh mencengkeram para akademisi Muslim. Ini sangat ironis, padahal betapa pun para kajian orientalis dalam studi Al-Quran sudah terbukti mengandung berbagai penyimpangan.
Adalah aneh, jika tujuan kurikulum itu adalah mengarahkan agar mahasiswa jurusan tafsir-hadits di UIN Jakarta dapat memahami dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Quran dan hadis. Ini aneh dan ajaib. Apakah dosen-dosen yang mengajarkan mata kuliah ini menyadari dampak yang ditimbulkan dari kurikulum semacam ini?
Tahun 2004 lalu, Kompas menerbitkan buku seorang almunus Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, berjudul “Islam Mazhab Kritis”. Tetapi anehnya, buku ini sama sekali tidak kritis dalam mengutip pemikiran Arkoun dan pemikir liberal lainnya, seperti Nasr Hamid Abu Zayd. Sarjana agama dari UIN Jakarta itu menulis: “Al-Quran sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Quran dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya.”
Di zaman modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Mohammed Arkoen mungkin orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu”.
Pemberian gelar “mufassir terkemuka” kepada Rahman dan Arkoun adalah sesuatu pemujaan yang berlebihan dan sama sekali bukan sikap kritis, sebab kedua orang itu hingga kini, belum pernah menghasilkan sebuah kitab tafsir pun, dan teori tafsirnya pun meminjam dari sejumlah pemikir Barat dalam hermeneutika.
Apabila kurikulumnya saja seperti itu, bisa dimaklumi, jika ada sarjana jurusan tafsir-hadis yang sama sekali tidak kritis terhadap kajian hasil orientalis dan ‘pengikutnya’, tetapi pada saat yang sama, menjadi sangat kritis terhadap para sahabat Nabi dan para ulama Islam terkemuka. Sikap itu bisa disebabkan karena kebodohan atau bisa juga karena penyakit dalam hatinya, yang memang sudah condong kepada kebatilan. Bahkan, ada seorang sarjana agama dari IAIN Semarang, yang dengan ringannya menulis dalam sebuah jurnal: “Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (wahyu eksplisit dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (wahyu implisit berupa konteks sosial waktu itu).
Pengaruh orientalisme terhadap studi Islam pada saat ini memang dirasa sangat hebat, banyak sekali akademisi muslim yang sudah “dicuci otaknya” sehingga mereka berputar haluan menjadi cendikiawan muslim yang malah menghujat agamanya sendiri. Selain para akademisi muslim yang ada di UIN Jakarta dan IAIN Semarang, masih banyak lagi akademisi yang sudah terpengaruh oleh orientalisme, misalnya saja Jaringan Islam Liberal.
Jaringan Islam Liberal merupakan suatu forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Tujuan utamanya adalah menyebarkan gagasan Liberalisme seluas-luasnya kepada masyarakat. Adapun beberapa tujuan lain dari JIL adalah ingin membuat suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan sebagai berikut:
1. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang,
2. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks,
3. Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural,
4. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas,
5. Kebebasan beragama dan berkepercayaan,
6. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik,
Menurut JIL, nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang menekankan kebebasan pribadi (sesuai dengan doktrin kaum Mu'tazilah tentang kebebasan manusia), dan “pembebasan” struktur sosial-politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Sederhananya JIL ingin mengatakan bahwa secara pribadi bebas menafsirkan Islam sesuai hawa nafsunya dan membebaskan negara dari intervensi agama (sekuler).
Unik memang, pada saat seseorang telah menyatakan menganut Islam maka ia terikat dengan hukum syara’ atau ia seorang mukhallaf dan ia tidak bebas lagi karena ucapan dan perilakunya telah dibatasi oleh syari’at. Disisi lain bagaimana mungkin bisa menggabungkan antara Islam dan Liberal karena keduanya adalah ideologi yang saling bertentangan. Islam meyakini bahwa Syari’at Allah harus dijalankan diseluruh sisi kehidupan, sedangkan Liberal meyakini pemisahan urusan agama dan negara.
Kesimpulan
Di dalam hal ini, pengaruh orientalis terhadap cendikiawan-cendikiawan muslim sangatlah besar. Hal ini bisa kita rasakan ketika makin maraknya hujatan-hujatan yang dikeluarkan oleh akademisi Islam yang sudah terpengaruh oleh orientalis kepada agamanya sendiri, baik itu terhadap Allah SWT, Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw dan Hadistnya.
Banyak sekali metode-metode yang digunakan oleh para orientalis untuk memancing para akademisi muslim untuk bergabung dengan mereka. Bisa jadi, salah satu dari beberapa program beasiswa untuk studi diluar negri pun sengaja mereka adakan untuk mempengaruhi para akademisi muslim yang cerdas dan berkopeten.
Dari beberapa fakta yang ada bahwa pengaruh orientalis terhadap studi Islam itu sudah dirasa sangat berbahaya, maka dari itu kita perlu mewaspadai dan mengkritisi segala sesuatu yang berhubungan dengan orientalisme.