Perjanjian Dalam Pernikahan dan
Perkawinan Wanita Hamil
oleh
Padil Hidayat
Perkawinan Wanita Hamil
oleh
Padil Hidayat
A. Pendahuluan
Pernikahan atau perkawinan merupakan perilaku sakral yang termaktub dalam seluruh ajaran agama. Dengan pernikahan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat, interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga,yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.
Perjanjian pranikah sering juga disebut dengan perjanjian perkawinan. Jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan pernikahan. Dalam bahasa Arab, janji atau perjanjian biasa diartikan dengan persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.
Dalam Islam, pernikahan secara etimologis diartikan dari lafadz an-nikâh yang merupakan mashdar dari fi’il madhi (nakaha) yang mempunyai arti kawin, setubuh, atau senggama.
Adapun perjanjian pranikah (prenuptial agreement), yaitu suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian biasanya dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak.
B. Perjanjian Dalam Perkawinan
Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, diatur masalah perjanjian perkawinan dalam pasal 29 yang berbunyi :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga juga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari penjelasan pasal 29 diatas, menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk ta’lik talak karena ada poin nomor 4. Akan tetapi berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam sendiri yang memuat delapan pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 45 sampai dengan pasal 52. Di dalam Pasal 45 disampaikan : Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Ta’lik Talak
2. Perjanjian lain yang tida bertentangan dengan Hukum Islam.
Tampak ada perbedaan antara penjelasan pasal 29 UU perkawinan dengan pasal 45 Kompilasi Hukum Islam, dimana pasal 29 UU perkawinan mengatakan bahwa perjanjian dalam pernikahan tidak termasuk ta’lik talak, menurut Henry Lee A Weng dalam desertasinya “alasannya adalah perjanjian yang termasuk di dalam pasal yang telah disebut menyangkut pernyataan kehendak dari kedua belah pihak dalam perjanjian itu, sedangkan ta’lik talak hanya kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah dan ta’lik talak sebenarnya satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak wanita yang sebenarnya dijunjung tinggi oleh Islam”. Akan tetapi dalam pasal 45 KHI menjelaskan bahwa ta’lik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.
Pada pasal 46 Kompilasi lebih jauh mengatur :
1. Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam ta’lik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukannya persoalannya ke Pengadilan Agama.
3. Perjanjian ta’lik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Ayat 3 diatas sepintas bertentangan dengan pasal 29 UU perkawinan ayat 4 yang mengatur bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah maka dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk ta’lik talak. Akan tetapi karena naskah perjanjian ta’lik talak dilampirkan dalam salinan akta yang sudah ditandatangani suami, maka perjanjian ta’lik talak sekali sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Dalam hal ini walaupun tertulis dalam surat nikah namun bukan sebuah kewajiban untuk diucapkan. Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan isteri tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalanya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya.
Karena itu sebelum akad nikah dilangsungkan, Pegawai Pencatat perlu meneliti perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Adapun untuk perjanjian sighat talak, Menteri Agama telah mengaturnya dalam Peraturan Menteri Agama
Nomor 3 Tahun 1975 pasal 11 yang berbunyi :
1. Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
3. Sighat ta’lik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
C. Perkawinan Wanita Hamil
Masalah perkawinan dengan wanita hamil memerlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana, terutama oleh para Pegawai Pencatat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur soal perkawinan dengan wanita hamil pada Pasal 53 :
1. Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dinikahi oleh seorang laki-laki yang menghamilinya.
2. Perkawinan wanita hamil (ayat 1) dapat dilangsungkan terlebih dahulu tanpa menunggu kelahiran anaknya .
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada wanita hamil, tidak perlu perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dalam pandangan Islam wanita yang hamil diluar nikah, berarti telah melakukan perbuatan zina demikian pula laki-laki yang menghamilinya. Para ulama berselisih mengenai hal ini tentang kebolehannya: Imam Syafi’i membolehkan, sedangkan Imam Abu Hanifah menambahkan syarat boleh menikah tetapi tidak boleh disetubuhi selama anak dalam kandungannya belum lahir. Imam Malik dan Ibnu Hambal mengharamkan wanita hamil untuk menikah, kecuali sesudah melahirkan.
Kebolehan wanita hamil untuk kawin terbatas bagi laki-laki yang menghamilinya. Ini sejalan dengan firman Allah dalam surat An-Nur : 3 yang artinya:
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau musyrik, yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min”
Dalam Undang Undang NO 1/1974 tentang Perkawinan dan KHI menyebutkan, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah (Pasal 42 UU perkawinan KHI) nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 100 KHI).
Dalam ajaran Islam, anak yang lahir mempunyai hubungan yang erat dengan ayah dan ibunya sehingga jika salah satunya meninggal dunia yang satu akan menjadi ahli waris bagi yang lainnya. Para ulama sepakat bahwa yang demikian adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah atau bukan dari hasil zina.
Sedang anak yang lahir dari perzinaan, meskipun akhirnya pasangan yang berzina menikah dengan sah, namun status anak tersebut merupakan hasil dari zina. Menurut imam Syafi’i anak dari zina mempunyai hubungan nasab hanya dengan ibunya, dan secara yuridis tidak mempunyai ayah. Karena itu jika anak tersebut perempuan, ia tidak mempunyai wali nasab yang berhak menikahkannya. Dan ini pula yang hingga kini berlaku dinegara, termasuk dikalangan petugas pencatat nikah.
D. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, yang mana melalui makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan tentang beberapa Ilmu dalam mempelajari hukum pernikahan yaitu tentang Perjanjian Pernikahan dan Perkawinan Wanita Hamil. Namun makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu kritik dan saran dari saudara-saudara semuanya sangat membantu dalam penyempurnaan makalah ini ke depan.
0 komentar:
Posting Komentar